Judul Buku :
Kelir tanpa Batas
Penulis : Umar Kayam
Jumlah Halaman : 453 + X hlm
Penerbit : Gama Media Kerjasama dengan Pusat Studi Kebudayaan UGM dan The Toyota Foundation
Tahun Terbit : 2001 (cetakan pertama)
Penulis : Umar Kayam
Jumlah Halaman : 453 + X hlm
Penerbit : Gama Media Kerjasama dengan Pusat Studi Kebudayaan UGM dan The Toyota Foundation
Tahun Terbit : 2001 (cetakan pertama)
Bagi masyarakat Jawa, wayang kulit mengandung banyak pemaknaan tentang kehidupan. Hingga kini, wayang kulit masih dipertahankan oleh masyarakat yang dihidupi dan menghidupinya. Wayang kulit masih menarik untuk terus dikaji. Banyak penelitian tentang wayang kulit yang telah dihasilkan seiring dengan dinamika masyarakat Jawa. Begitu pula dengan Umar Kayam, mantan guru besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (FIB UGM) ini telah membukukan hasil penelitiannya mengenai perkembangan wayang kulit pada masa orde baru.
Buku
yang berjudul Kelir tanpa Batas tak sepenuhnya hasil penelitian, melainkan
ditambah dengan data dan analisis baru. Hal ini dikarenakan penelitian
dilakukan pada 1993 sedangkan buku ini diterbitkan pada tahun 2001. Penelitian
ini bertujuan memahami sejarah wayang dan pergolakannya dalam bertahan. Dalam
wayang kulit terdapat pakem-pakem tertentu, namun seiring berubahnya zaman
beberapa pakem mulai mencair. Penelitian ini difokuskan pada kondisi wayang
kulit saat orde baru tahun 1993 hingga 1995.
Umar
Kayam memiliki dua alasan mengapa mengambil setting pada masa ini. Pertama,
masyarakat Jawa dinilainya lebih terbuka pada masa orde baru. Kedua, orde baru
yang berlangsung lama menimbulkan kecenderungan budaya tertentu. Peta kehidupan
wayang kulit, sejarah, pakem, peran dalang dan pemaknaan wayang di tengah
masyarakat Jawa menjadi suatu pertanyaan dalam penelitian ini. Wawancara dan
pengamatan langsung terhadap kondisi pertunjukan, dalang dan penontonnya
menjadi alat utama pengumpul data.
Jalan
cerita, tokoh dan setting yang terdapat dalam dua epos besar India yakni
Ramayana dan Mahabarata menjadi ciri umum wayang kulit. Keduanya dimainkan
dengan boneka tipis dari kulit yang dipahat sesuai karakter dan ciri fisik
tokoh masing-masing. Boneka tersebut digerakan oleh dalang dengan bantuan
tongkat kecil dalam ukiran wayang kulit diiringi suara sinden dan gamelan.
Dalam pertunjukan kesenian yang diindikasikan muncul di abad X SM ini, dalang
memiliki peranan sosial religius yang menyeimbangkan manusia dan lingkungannya.
Dalam kehidupan masyarakat Jawa, wayang kulit memberi ruang kategoris dan
hierarkhis yang terefleksi dari jalan ceritanya. Setiap manusia memiliki
kedudukan dan perannya masing-masing. Peran itu harus dimainkan sesuai silsilah
dan tata krama yang wajib dipatuhi. Ini kemudian menimbulkan filsafat
pertunjukan wayang kulit yang diciptakan orde baru sebagai tontonan, tuntutan
dan tatanan. Hal tersebut kemudian menjadi pemaknaan umum masyarakat Jawa.
Pemaknaan ini turut dibayangi oleh beberapa otoritas, antara lain otoritas
kraton, lembaga pendidikan formal seni pedalangan, tradisi lokal dan penguasa
politik orde baru beserta pejabat dan agen/agennya (hlm 69).
Dalam
perjalanannya, wayang kulit mengalami pemudaran pakem dan betuk estetiknya.
Pada dasarnya, wayang kulit di Jawa terbagi dalam tiga gaya, yakni Surakarta,
Yogyakarta dan Jawa Timur. Ketiganya memiliki perbedaan masing-masing. Namun,
mulai 1980-an batas ketiganya luntur. Ini dipengaruhi oleh mencairnya batas
antara dunia panggung dan penonton sebagai penikmat wayang kulit di luar
panggung. Pengaruh yang dikemukakan Umar Kayam ini didukung banyak data. Salah
satunya, Ki Sudarman Gondo Darsono, salah satu dalang senior, mengundang Ki
Warsito untuk mendalang dalam acara supitan anaknya. Acara tersebut dihadiri
oleh banyak dalang dari pelbagai generasi.
Ketika
Ki Warsito mendalang, dalam ceritanya ia banyak menyampaikan ejekan terhadap
pakem wayang yang selama ini dipakai. Ini kemudian memancing perdebatan
diantara dalang yang menontonnnya dan salah satu penonton melemparkan sandal ke
panggung. Tak hanya contoh tersebut, di salah satu pertunjukan wayang di
Sukoharjo, dalang Ki Warseno Slenk malah memberi kesempatan pada penontonnya
untuk menyanyi ke depan panggung sesuai tema wayang. Kedua contoh ini tentu
menunjukan betapa batas panggung dan penonton mulai mencair.
Pakem
tampilan wayang juga mengalami perubahan. Perubahan ini ditandai dengan
munculnya unsur pendukung baru selain sinden, gamelan, bingkai kelir, dan boneka
wayang. Bingkai kelir yang seharusnya sepanjang enam hingga delapan meter
menjadi lebih panjang. Bingkai kelir menjadi berukuran seperti bingkai film di
gedung bioskop, yakni sepanjang 12 meter. Sinden yang seharusnya duduk, justru
maju ke panggung dan berdiri untuk menyanyi, ini terjadi pada saat Ki Djoko
Edan mendalang. Nuansa wayang kulit bertambah lain ketika dimasukan unsur
jaipongan Sunda ke dalamnya. Peralatan gamelan pun sudah ditambah dengan
peralatan yang lebih modern seperti keyboard atau drum. Perubahan pakem ini pun
memacu perselisihan antar dalang.
Menurut
Groenendael (1987), tugas wayang kulit dan dalangnya pada hakikatnya
memelihara, mempertahankan sebuah tatanan. Pemaknaan mengenai perubahan pakem
yang telah terjadi pada wayang kulit ikut memaknai pula perubahan tatanan pada
masyarakat Jawa. Ini turut memberi dukungan bagi filosofi pembangunan orde baru
saat itu, yakni menggunakan teknologi, menyerap dan sekaligus menyeleksi nilai
eksternal. Ini menjadi legitimasi perubahan pakem wayang kulit. Seiring dengan
perubahan tersebut, wayang kulit mulai digunakan pejabat orde baru baik negeri
atau swasta untuk mengisi beragam acara. Predikat wayang kulit sebagai kesenian
daerah yang kuno berubah menjadi kesenian kota.
Selama
wayang kulit tetap berefleksi dan menjaga agar penonton tak bosan walau
menontonnya semalam suntuk, ia akan tetap bertahan.
Kelir tanpa Batas melambangkan perumpamaan bahwa kajian mengenai wayang kulit tak akan pernah selesai. Wayang kulit akan terus ada dan bertahan dengan perubahannya. Tak hanya perubahan wayang kulit dari waktu ke waktu yang coba diselami oleh Umar Kayam, ia juga menampilkan profil dalang sesuai identitas pembagian daerah yakni Surakarta, Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Kelir tanpa Batas melambangkan perumpamaan bahwa kajian mengenai wayang kulit tak akan pernah selesai. Wayang kulit akan terus ada dan bertahan dengan perubahannya. Tak hanya perubahan wayang kulit dari waktu ke waktu yang coba diselami oleh Umar Kayam, ia juga menampilkan profil dalang sesuai identitas pembagian daerah yakni Surakarta, Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Buku ini dilengkapi gambar-gambar mengenai
peralatan wayang, dalang dan suasana pertunjukan wayang agar memberi gambaran
kepada pembaca yang belum pernah menyaksikan wayang kulit. Penelitian ini turut
memberi hawa baru dalam wacana wayang kulit karena dikembangkan dari penelitian
sebelumnya. Walaupun terdapat istilah yang kurang dijelaskan secara rinci oleh
penulis, penjabaran yang runut tak mengurangi kualitas isi buku. Bagi anda yang
tertarik menyelaminya lebih dalam, belum terlambat untuk ikut melestarikan
kesenian tradisional ini.
Kelemahan
yang mendasar terdapat di buku ini hanya ada dua. Pertama, peletakan kumpulan
lampiran foto berwarna yang diletakkan di bagian akhir buku. Sehingga buku
menjadi terkesan kaku layaknya karya tulis. Padahal, bisa saja foto-foto
tersebut disisipkan di dalam bab sama halnya dengan penyajian tabel-tabel di
dalam buku. Dengan demikian, otomatis tulisan akan menjadi lebih hidup dan
mampu bercerita. Kedua, dengan adanya sub bab “Paradoks Orde Baru pada Level
Makro.” Keberadaan sub bab tersebut tampak tidak memiliki kaitan dengan bagian
lain dari buku. Terlebih, sudut pandang yang diambil penulis dalam sub bab ini
terlalu luas. Tidak lagi hanya membahas wayang pada era Orde Baru, namun justru
membahas kehidupan bangsa pada era Orde Baru secara makro. Walaupun diakui,
keberadaan sub bab ini memang dimaksudkan sebagai pengantar ke sub bab yang
selanjutya.
Sebagai
kesimpulan akhir, lepas dari segala kekurangannya, buku ini tetap mampu
memberikan pengetahuan baru kepada para pembaca, khususnya mengenai jagad
pewayangan Jawa pada era Orde Baru. Buku ini juga dapat mengangkat topik yang
cukup aktual, mengingat cetakan pertamanya diterbitkan pada tahun 2001. Hanya
berselang 3 tahun pasca kejatuhan rezim Orde Baru dimana memang pada saat itu
sedang banyak bermunculan tulisan-tulisan mengenai Orde Baru. Namun, sekarang
buku ini sudah mulai sulit ditemukan, baik di toko buku, pasar loak, maupun di
perpustakaan. Hal ini cukup disayangkan mengingat menariknya sudut pandang yang
ditawarkan penulis dalam buku ini. Ditambah dengan sejumlah data-fakta yang
mendukung buku ini tetap memiliki daya tarik, khususnya bagi pembaca yang
menyukai seluk beluk mengenai pewayangan Jawa.
0 komentar:
Posting Komentar